Monday, March 6, 2006

R E S P E C T

horizons for a better future

1 comment:

Anonymous said...

Ciuman Bibir Didenda, Goyang Inul Dilarang
Kontroversi RUU Anti Pornografi

APA yang salah dengan semprotan Bang Haji --sapaan akrab sang Raja Dangdut, Rhoma Irama-- kepada si Ratu Ngebor, Inul Daratista, saat rapat panitia khusus (pansus) RUU Antipornografi di gedung DPR RI, Jakarta, Rabu pekan ini?
Bang Haji yang punya ribuan penggemar di Indonesia ini mencela habis-habisan goyangan erotis Inul yang dianggapnya contoh nyata sebuah pornoaksi.
Jadi apa yang salah? Agaknya tidak ada yang salah, kecuali omongan moralis Bang Haji itu dikaitkan dengan track record- nya yang juga tidak bisa dibilang "bersih" soal moral.

Ia pernah tertangkap basah berduaan dalam kamar dengan artis Angel Lelga. Belakangan, Bang Haji mengaku bahwa Angel adalah istrinya yang sah yang kemudian diceraikannya.
Namun, hal yang lebih substansial dari sekadar semprotan pelantun lagu Judi tadi adalah isi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang lebih populer disebut RUU Anti Pornografi.
Bila UU itu diberlakukan, nantinya goyangan ngebor ala Inul akan dijerat hukuman. Dengan jelas, pasal 7 ayat 1 memberikan larangan "menari erotis atau bergoyang erotis di muka umum".
RUU itu juga menjaring anak-anak muda yang mulai tertular gaya hidup Barat. Nantinya, mereka tak bisa lagi bebas bermesra-mesraan di tempat umum. Begitu melakukan ciuman bibir --dan, tentu saja, kalau kepergok aparat-- bisa-bisa kena denda Rp 50 juta sampai 250 juta.
Kalau tak punya duit, hukuman alternatifnya harus mendekam di penjara 1-5 tahun.
RUU itu terdiri atas 39 pasal, 30 pasal di antaranya berisi larangan, 34 pasal berisi ketentuan sanksi terhadap pelanggaran atas larangan tersebut, dan 11 pasal tentang Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional (BAPPN).
Namanya saja RUU, ketentuan-ketentuan baru tersebut sedang digodok DPR sebelum disahkan dan diberlakukan.

Suara Pro
Selain kalangan organisasi keagamaan seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam Indonesia (FUII), dan kalangan moralis lainnya, suara pro juga datang dari Ketua Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Indonesia (UI) dan aktivis LSM, Ade Armando, yang gencar memerangi pornografi.
Tentu saja, pendekatannya lebih ditekankan pada bobot akademis ketimbang agama.
Menurut Ade, dampak negatif pornografi bisa dilihat langsung seperti semakin meluasnya perilaku seksual bebas, pelecehan seksual, perilaku seks menyimpang, penyebaran HIV/AIDS, seks permisif di kalangan generasi muda, dan aborsi.
Kata Ade, ancaman pornografi sangat serius di Indonesia. Kantor berita Associated Press (AP) pernah menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi "surga pornografi berikutnya" (the next heaven of pornography).
Dua negara yang disebut AP adalah Indonesia dan Rusia. Indonesia jauh lebih serius dari Thailand, meski negara ini dikenal sebagai salah satu surga seks di dunia.
Thailand sudah menerapkan penataan pornografi yang sangat serius. Industri pornografi ilegal sudah semakin sempit.
Nah, Indonesia dianggap sangat bebas, terutama kalau bicara VCD porno. Juga karena Indonesia yang tidak mengatur adanya regulasi internet sama sekali.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 282 memang mengatur tentang kesusilaan. Namun, kata Ade, larangan menyebarkan sesuatu yang melanggar susila dengan definisi yang amat longgar sekali.
Selain itu, pasal 282 KUHP itu hanya menyebutkan larangan menyebarkan sesuatu yang membangkitkan birahi remaja.
Sebentar lagi, majalah Playboy dari Amerika Serikat, yang mengumbar gambar-gambar vulgar, akan segera masuk Indonesia.
Ade juga menggarisbawahi, pornografi itu bukan urusan agama saja. Bahkan di negara-negara yang sangat sekuler pun, ada pengaturan masalah pornografi. Yang penting pornografi itu tidak merugikan masyarakat.

Suara Kontra
Suara kontra justru datang dari aktivis Komite Nasional (Komnas) Perempuan, Myra Diarsi. Menurutnya, RUU ini tidak mengandung aspek perlindungan terhadap warga negara, terutama perempuan.
"Yang terjadi, saya kira RUU Pornografi bisa digunakan untuk mengkriminalisasi orang-orang yang justru rentan terhadap obyek-obyek pornografi," katanya.
"Di Mesir, undang-undang kesusilaan sangat kental pembelaannya terhadap perempuan. Colek-colek atau suit-suit di jalan bisa terjerat hukum susila," katanya. Nah, gimana dengan RUU ini? Menurut Myra, RUU tersebut sangat bisa menjerat perempuan yang memakai baju ketat di jalan.
Sanksi pornografi dan pornoaksi misalnya bisa dikenakan pada pelaku yang kebetulan seorang perempuan yang sedang kepanasan, lalu membuka dua kancing atas blusnya untuk sekadar mendapat hawa sejuk di dunia yang sangat tropis, lembab dan panas seperti Indonesia.
Oleh karena itu, kata Myra, definisi pornografi mestinya lebih detail misalnya di dalamnya terkandung unsur eksploitasi seksual yang biasanya mengorbankan kaum perempuan.
Budayawan dan Pemimpin Redaksi majalah sastra Horison, Jamal D Rahman, RUU Pornografi mengandung banyak sekali persoalan, kontradiksi, dan kerancuan.
Salah satunya adalah kaburnya definisi pornografi, pornoaksi, dan erotika yang dimaksud oleh RUU itu sendiri.
Yang tak kalah serius dalam RUU Pornografi adalah kontradiksi-kontradiksi. Dalam pasal-pasal tentang larangan (Bab II) dikatakan, setiap orang dilarang membuat tulisan --antara lain berupa syair lagu dan puisi-- dan film serta lukisan yang mengeksploitasi bagian tubuh yang sensual dari orang dewasa.
Tetapi dalam pasal pengecualian (Bab III) dikatakan bahwa pelarangan pornoaksi dikecualikan untuk kegiatan seni. Dirumuskan dalam bahasa lain: pornografi dalam puisi dilarang, kecuali puisi itu merupakan kegiatan seni; pornografi dalam film dilarang, kecuali film itu merupakan kegiatan seni; pornografi dalam lukisan dilarang, kecuali lukisan itu merupakan kegiatan seni. Bukankah puisi, film, dan lukisan --dalam batas berbeda-beda-- adalah seni?
Aktivis perempuan Musda Mulia melontarkan kritik, misalnya, ketidakjelasan pada pasal larangan ciuman di depan umum.
"Lha kalau yang berciuman bibir di depan umum itu suami- istri, apa ya dilarang?" kata Musda dalam diskusi tentang RUU Antipornografi di Jakarta, kemarin.
Tentang larangan telajang, Musda bertanya: bagaimana dengan komunitas suku terasing di berbagai pelosok pedalaman yang saban hari wanitanya terbiasa tidak pakai kutang sementara kalangan prianya bertelanjang badan dan hanya menutupi kelaminnya dengan koteka. (JBP/abs/hr)